Pembantaian Nanking

Nanking Massacre alias Pembantaian Nanking. Peristiwa pahit yang terjadi selama enam minggu sejak 13 Desember 1937 itu masih dikenang warga Nanking dan warga China sebagai peristiwa pembantaian oleh serdadu Jepang saat Negeri Matahari Terbit itu menduduki China.
Pemerintah China mengklaim 300.000 warga tewas dalam pembantaian tersebut.
Pembantaian Nanjing adalah bukti nyata kebrutalan serdadu Jepang selama masa Perang Dunia II. Ribuan warga sipil tak bersenjata dan tentara China yang terluka, yang ditangkap, ditembak dengan senjata mesin dan dibunuh dengan bayonet.
Mayat-mayat bergelimpangan di tepi Sungai Qinhuai dan Sungai Yantze yang membelah Kota Nanjing. Kota Nanjing berubah menjadi kota penuh darah dan ketakutan.
Tak ada tempat bagi warga kota untuk berlindung. Bukan itu saja. Yang mengerikan adalah ribuan perempuan China menjadi korban pemerkosaan oleh tentara Jepang.
Sudah hampir 71 tahun peristiwa itu berlalu, tetapi warga Nanjing belum 
sepenuhnya dapat melupakan kejadian tersebut. Dan memang, Pembantaian Nanjing 
bukan untuk dilupakan. Anak-anak sekolah di China sejak dini diajak ke monumen 
Pembantaian Nanjing agar mereka sejak kecil sudah diingatkan akan peristiwa 
ini. Ketika Kompas mengunjungi Memorial Hall of Nanjing Massacre, awal November 
lalu, museum itu ramai dikunjungi warga China. Di sana, semua data dan 
deskripsi peristiwa ini tergambar dengan sangat jelas. Bahkan, ada contoh 
bagaimana korban-korban tewas di dalam rumahnya.

Pembantaian Nanjing adalah bukti nyata kebrutalan serdadu Jepang selama masa 
Perang Dunia II. Ribuan warga sipil tak bersenjata dan tentara China yang
terluka, yang ditangkap, ditembak dengan senjata mesin dan dibunuh dengan 
bayonet. Mayat-mayat bergelimpangan di tepi Sungai Qinhuai dan Sungai Yantze 
yang membelah Kota Nanjing. Kota Nanjing berubah menjadi kota penuh darah dan 
ketakutan. Tak ada tempat bagi warga kota untuk berlindung. Bukan itu saja. 
Yang mengerikan adalah ribuan perempuan China menjadi korban pemerkosaan oleh 
tentara Jepang.

Peristiwa ini memberi inspirasi bagi Iris Chang, perempuan Amerika keturunan 
China, untuk menulis buku berjudul The Rape of Nanking-The Forgotten Holocaust 
of World War II. Data-data yang terungkap dalam buku itu, termasuk data tentang 
neneknya yang menjadi korban, mengejutkan dunia Barat. Namun, Iris Chang 
setelah itu mendapat ancaman dan teror dari kaum sayap kanan Jepang, yang 
menolak peristiwa Nanjing. Tidak tahan dengan teror dan ancaman itu, Iris Chang 
akhirnya ditemukan tewas, diduga akibat mengalami depresi. Namun, bukunya, The 
Rape of Nanking, mengalami cetak ulang dan menjadi best seller.

Salah satu korban pembantaian Nanjing, Li Xiuling, seperti dikutip Newsweek 
(20/7/1998), mengungkapkan kemarahannya kepada Jepang. ?Saya benci Jepang 
begitu dalam,? kata Liu Xiuling, yang saat peristiwa terjadi sedang hamil tujuh 
bulan. Tiga serdadu Jepang menikamnya 37 kali saat itu. Bayi yang dikandungnya 
tewas, tetapi Li selamat.


Untuk memperingati hari kemenangan perang anti -fasis di seluruh 
dunia dan memperingatkan setiap orang Tiongkok jangan melupakan sejarah
agresi yang berdarah itu, kami membuat acara khusus untuk menceritakan
peristiwa "Pembantaian Besar Nanjing" waktu agresor Jepang menduduki 
Kota Nanjing bagian timur Tiongkok.

Pada tgl 13 Desember tahun 1937, sekitar 200 ribu agresor Jepang menduduki Kota Nanjing ibu kota Tiongkok waktu itu, dan segera setelah itu agresor Jepang menjalankan pembantaian biadab terhadap penduduk damai dan orang militer yang sudah meletakkan senjata di kota itu. Hanya dalam waktu 6 pekan, 300 ribu penduduk Tiongkok telah direnggut nyawanya di bawah todongan senapan serdadu Jepang, di antaranya termasuk 90 ribu orang tahanan. Inilah peristiwa "Pembantaian besar Nanjing"yang terkenal dalam Perang Dunia Kedua.
Nenek Xia Shuqin yang berusia 77 tahun adalah salah satu korban pembantaian Nanjing yang masih hidup. Ketika mengenang hari seram 69 tahun yang lalu itu, Nenek Xia Shuqin dengan air mata berlinang-linang mengatakan, hanya dalam setengah hari saja, serdadu Jepang telah menghancurkan keluarganya beranggota 9 orang yang bahagia.
Nenek itu menceritakan, "Pada hari itu serdadu Jepang menggedor pintu dengan bengis. Ayah saya yang pergi membuka pintu ditembak mati seketika itu. Ibu saya yang menggendong adik prempuanku bersama seorang ibu dan 2 anak tetangga bersembunyi di bawah meja. Ketika itu serdadu Jepang menyeret ibu saya dari bawah meja, dengan sangkur tempur menusuk mati adikku dan menelanjangi ibu saya. Kakak beradik 4 orang kami bersembunyi di ranjang, kemudian dua kakak prempuanku diseret dan diperkosa oleh serdadu Jepang sedangkan saya ditusuk 3 kali
Dengan demikian, pagi hari tgl 13 Desember tahun 1937, 7 dari 9 anggota keluarga Xia Shuqin yang tinggal di jalan Xinlukou nomor 5 Kota Nanjing itu dibunuh tak beralasan oleh serdadu Jepang. Di antaranya ibu dan 2 orang kakak prempuannya sebelum dibunuh diperkosa oleh serdadu Jepang. Keluarga Xia hanya tersisa Xia Shuqin berusia 8 tahun dan Xia Shuyun berusia 4 tahun waktu itu. Setelah serdadu Jepang pergi, dalam 14 hari kedua gadis kecil itu mengisi perut dengan sedikit beras goring sangan dan kerak nasi di samping jenazah anggota keluarga sampai akhirnya ditemukan tetangga.
Nenek Xia Shuqin mengatakan, selama ia masih hidup di bumi ini ia akan memberikan kesaksian atas pembantaian besar itu, dan berjuang menentang kekuatan ultrakanan Jepang yang menyangkal " Pembantaian Basar Nanjing" dan mengungkapkan kenyataan sejarah sebenarnya kepada rakyat seluruh dunia.
Kenyataan dibunuhnya keluarga Xia juga direkam dengan kamera oleh pendeta Amerika Serikat John Magge. Magge waktu itu sebagai Ketua Dewan Nanjing Palang Merah Internasional ketika diberi tahu perkara pembunuhan keluarga Xia itu, ia segera pergi ke rumah Xia di jalan Xinlukou itu dan memotret kejadian tersebut. Selain itu ia juga memberi-tahu kejadian itu kepada tokoh-tokoh warga asing yang tinggal di Nanjing dan kejadian itu dicatat dalam buku catatan harian warga Jerman John Rabe dan bahan " arsip zone keamanan Nanjing".
Sementara itu terdapat pula foto dalam jumlah besar yang merekam adegan sejarah yang berdarah. Di antaranya sebagian disimpan oleh seorang korban pembantaian yang masih hidup bernama Lu Jing. Waktu agresor Jepang menduduki Kota Nanjing, ia adalah seorang magang di sebuah studio foto. Foto-foto yang merekam adegan kejam pembunuhan terhadap warga Tiongkok itu dibuat oleh serdadu Jepang sendiri. Ia dengan sembunyi-sembunyi mengambil sejumlah dari foto yang diantar serdadu Jepang ke tokonya untuk dicetak. Lu Jing orang tua yang sudah meninggal dunia tahun lalu itu sebelumnya ia dalam wawancara dengan wartawan kami menceritakan:" Ketika itu saya mencuci foto-foto yang diberikan serdadu Jepang, sangatlah menakutkan, di antaranya ada yang pemenggalan kepala orang Tiongkok. Saya memberi tahu kepada majikan saya dan kemudian saya memutuskan untuk menyimpan dengan sembunyi-sembunyi foto-foto tersebut sebagai bukti untuk kemudian hari."
Foto-foto sebagai bukti Pembantaian Besar Nanjing itu disimpan terus sampai saat kemenangan perang melawan Jepang dan diserahkan kepada Pengadilan Militer Nanjing sebagai bukti untuk mengadili penjahat perang Jepang. 
Sejarah tidak dapat dilupakan, lebih-lebih tidak dapat diubah. Kalau tidak, tragedi itu akan terjadi berulang kali. Mahasiswa Jepang yang belajar di Universitas Peking Yoshi Kazu Kato mengatakan kepada wartawan, yang penting adalah jangan melupakan sejarah.

Ia mengatakan, " Sebagai seorang muda saya berpendapat adalah kenyataan Jepang mengagresi Tiongkok. Kedua negara hendaknya mengadakan pertukaran dan kerja sama di atas dasar dengan tepat memperlakukan sejarah."
Justru seperti yang dikatakan oleh mahasiswa Jepang itu, bahwa tidak hanya rakyat Tiongkok yang memperingati ulang tahun ke-60 kemenangan melawan Jepang, tetapi hari kemenangan itu juga patut diperingati oleh rakyat Jepang dan rakyat seluruh dunia. Karena kemenangan perang melawan Jepang tidak saja mengakhiri malapetaka besar rakyat Tiongkok , Asia dan negara-negara lainnya, tetapi juga mengakhiri penderitaan rakyat Jepang akibat perang tersebut. Memperingati sejarah bertujuan justru untuk membuat rakyat kedua negara mengenal sejarah dan "bercermin pada sejarah dan berorientasi ke masa depan", supaya persahabatan dan hubungan kerja sama bersahabat antara kedua negara Tiongkok dan Jepang dipelihara dengan lebih baik.
Sumber: pamburumasa.com

Updated at: 21.17